POPULER
-
Akhirnya setelah cukup lama gue bisa nulis lagi.. Semalem gue degerin lagunya Jikustik yang liriknya gini “Kapan lagi ku tulis untu...
-
Cinta Adalah Seekor burung cantik; berharap ditangkap, tapi menolak untuk disakiti. -Kahlil Gibran-
-
Mau cerita sedikit tentang bagaimana aku bisa suka sama Sheila On 7. Band satu juta copy, itu merupakan julukan yang perna...
Senin, 01 Juni 2015
7 mei 2011
Sore itu. Aku masuk di sebuah kafe yang berada di jalan pandanaran. Kafe
dengan interior klasik, yang dikelilingi dengan jendela kaca. Sehingga bagian
dalam bisa terlihat jelas dari luar, begitu juga sebaliknya. Aquila café
namanya. Aku menuju meja yang terletak di sudut kafe, sebuah meja kotak dengan
dua kursi. Sesaat setelah duduk seorang pelayan menghampiriku.
“Sore mas Altarf, mau pesan apa?” tanya Widya. Nama pelayan itu. Aku
memang sering datang ke tempat ini, sehingga aku cukup akrab dengan karyawan
kafe ini.
“Flat white, seperti biasa.” Jawabku singkat sembari melemparkan
senyuman.
“Oke mas, bentar ya.” katanya. Dan kemudian dia pergi.
Sekitar lima menit kemudian Widya kembali menghampiriku, bersama flat
white yang aku pesan tadi. “Ini mas pesanannya, flat white.” Dia menaruh
minuman itu di meja. “sendirian aja nih mas?” tanyanya.
“Aku lagi nungguin Maya.”
“Lha emang mbak Maya lagi dimana mas?
“Gak tau. Tadi sih aku di sms bilang ketemuan disini gitu aja.” Kataku
sambil tersenyum.
Memang seperti itu, Maya mengirimiku pesan singkat. “Mas, temui aku di kafe
biasa ya.” begitulah isi pesannya. Dan langsung aku mengiyakan ajakannya. Aku
memang sedang tak ingin banyak basa-basi bertanya dia sedang dimana.
“Yaelah mas. Tapi ngomong-ngomong gimana nih hubungannya? Ada kemajuan
gak?” cecarnya. Yang membuatku sedikit terkejut dengan pertanyaannya.
“Maksudnya apaan nih?” kataku sambil menahan ketawa.
“Halah pake nanya maksudnya apaan.
Emangnya saya gak tau kalau mas suka sama mbak Maya?”
“Kita Cuma temen kok.” Jawabku sambil ku buat se tenang mungkin
kata-kataku. “Udah sana kerja, ntar tak bilangin mas Danar dimarahin kamu.”
Lanjutku.
“Hmmm,,, iya deh iya.” Suara Widya terkesan kecewa.
Maya, nama wanita yang sedang aku tunggu kedatanganya. Seorang wanita
yang membuatku jatuh hati. Dia adalah adik tingkatku waktu kuliah. Akan tetapi
aku baru mengenalnya setelah aku lulus, sekitar setahun lalu. Waktu itu sebuah pesan
singkat masuk ke handphone ku, menanyakan apakah itu benar nomor teleponku. Dia bilang dia mendapatkan tugas untuk
menganalisis skripsi alumni, dia memilih skripsi milikku dan bilang ingin
bertanya bebrapa hal. Karena aku masih berada di kota ini akhirnya aku memilih
untuk mengajaknya ketemuan. Karena aku kurang bisa menjelaskan sesuatu secara
tidak langsung. Disini, di kafe inilah aku bertemu dengannya untuk pertama
kali.
Dia tipe wanita yag berbeda dari kebanyakan wanita yang pernah aku
kenal. Entah kenapa terasa mudah sekali aku akrab dengannya. Tidak hanya soal
skripsiku, obrolan kami mulai meluas. Tanpa rasa canggung dia bicara soal
sahabat-sahabatnya, sampai tentang salah satu dari sahabatnya yang ternayata
naksir dia. Bagi orang yang pertama kali bertemu itu bukan sesuatu yang biasa
menurutku. Dan dia sudah membuatku terkesan pada pertemuan pertama itu.
Sejak saat itu kita semakin sering ketemu mulai dari membahas tugasnya
yang menganalisis skripsiku atau hanya sekedar ngobrol biasa. Tidak butuh waktu
lama untuk aku bisa jatuh cinta kepadanya. Aneh memang, karena tidak seperti biasa
aku begitu mudah jatuh cinta. Dengan mantan-mantanku pun aku setidaknya sudah
mengenal mereka selama setahun baru bisa jatuh cinta. Tapi memang Maya berbeda
dengan mereka.
Aku melihat jam tanganku, sudah pukul 16:07. Di luar aku melihatnya
berjalan di trotoar seberang jalan. Berhenti sebentar sambil melihat kanan dan
kiri kemudian menyeberangi jalan menuju kafe ini. Saat masuk dia menoleh ke
arahku sembari melemparkan senyum sebelum menghampiri meja pelayan untuk
memesan sesauatu. Frappe, pasti minuman itu yang dia pesan.
“Maaf ya telat.” Kata yang dia ucapkan ketika baru saja duduk di
depanku. “Udah lama nunggunya?” tanyanya.
“Dua puluh menitan lah. Habis darimana sih?”
“Itu habis dari toko buku situ.” Dia mengambil handphone dari tasnya,
sepertinya sedang mengetik pesan kemudian meletakkanya di meja. “Sebel tau gak
mas.” Lanjutnya tiba-tiba. “Masak ya, aku kan lagi cari buku. Aku muter-muter
di rak buku gak ketemu, tapi di komputer informasi stok bukunya masih ada. Aku
sampai pusing nyarinya. Kan bikin sebel kalau kayak gitu.” Ujarnya sambil
menunjukkan rasa kesalnya.
“Ini mbak frappe nya.” Sela Widya sambil menaruh pesanan yang sudah ku
duga sebelumnya. “Mbak Maya, kasiahan tuh mas Altarf. Udah dari tadi nungguin
mbak Maya.” Widya coba menggoda kami. Sementara Maya hanya tersenyum mendengar
perkataan Widya sebelum dia meninggalkan aku kami.
“Emang lagi cari buku apa sih?” aku memulai kembali obrolan kami.
“Itu lho bukunya Steve yang soal arsitektur perkotaan.”
“Ohh buku itu. Aku punya kok, kalau mau ambil aja.”
“Serius nih?” katanya dengan semangat. “Oh iya mas, aku bentar lagi acc
sidang akhir. Besok pas sidang kamu datang ya?” pintanya.
“Enggak ah.” Jawabku cepat tanpa berfikir terlalu lama.
”Yah gak asik ah, masak gak mau datang.” Maya kelihatan kecewa dengan
jawabanku.
“Aku gak enak sama pacarmu kalau aku nungguin kamu sidang.” Kata
‘pacarmu’ seperti sebuah bumerang buatku. Memang sesungguhnya Maya sudah
memiliki pacar. Aku memang baru mengetahuinya setelah aku benar-benar jatuh
cinta pada perempuan ini. Meskipun Maya tahu kalau aku suka padanya, karena aku
memang sempat mengatakannya walau tidak memintanya untuk jadi pacarku. Akan
tetapi sikapnya terhadapku masih sama seperti biasanya.
Bahkan dengan santainya dia bercerita tentang rencana perikahannya
kepadaku. Selepas ia wisuda juli nanti rencana dia akan menikah dengan
pacarnya. Orangtua Maya memang termasuk tegas. Mereka tidak suka Maya pacaran
sekedar pacaran, sehingga ketika suatu saat pacar Maya datang kerumahnya ia ditanya
tentang masa depan hubungan mereka. Pria itu hanya bilang secepatnya tanpa
waktu yang pasti, sebelum orangtuanya meminta mereka menikah selepas Maya
selesai kuliah. Lelaki yang tidak bisa tegas, pikirku dalam hati ketika Maya
menceritakan hal itu.
“Kenapa sih ujung-ujungnya soal itu.” Maya sedikit kesal. Ia
menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi sambil membuang pandangannya ke luar
jendela, kemudian mengambil dan meminum frappe miliknya dengan pandangan masih
keluar jendela.
“May, kamu sendiri tahu kan kalau aku itu suka sama kamu. Dan di luar
sana ada orang lain yang juga suka sama kamu. Orang yang lebih punya hak atas
kamu daripada aku, pacar kamu, calon suami kamu.” Aku berkata dengan tegas,
akan tetapi dengan suara yang cukup pelan. Karena aku tidak ingin menarik
perhatian orang-orang di kafe itu.
Aku sungguh tidak ingin ada yang mengira kalau kita adalah pasangan
selingkuh. Bukan karena aku takut akan malu, tapi aku tak ingin mereka
berperasangka buruk terhadap Maya. Meskipun kenyataannya memang antara kami
sampai saat ini hanya sebatas teman, walau kadang aku berharap lebih.
“Dia juga gak bakal datang. Sidangku kan bukan hari libur.” Kata yang
terucap pelan darinya.
Maya memang bukan berasal dri kota ini, begitu juga dengan pacarnya yang
satu daerah dengannya. Jadi kemungkinan dia datang memang cukup tipis.
“Anggap ini permintaan terbesarku mas.” Maya menatapku dengan pandangan
yang serius. “Aku benar-benar ingin kamu datang.”
Aku terdiam sesaat sebelum mengiyakannya. “Baiklah kalau begitu, akan
aku usahakan untuk datang.”
Maya mulai tersenyum mendengar jawabanku, meskipun senyumnya bukan
senyum lepas seperti biasanya. Tapi setidaknya aku tidak melihat wajah
cemberutnya lagi.
Kami masih berada di kafe sampai sekitar setengah enam. Sebelum akhirnya
aku mengantar Maya pulang ke kosannya yang masih berada di sekitar kawasan
kampus.
***
10 september
2011
Secangkir flat white tersaji di depanku. Beberapa menit aku hanya
memandanginya, sebelum aku mulai meminumnya. Aku ingin menikmati flat wahite di
Aquila café sebelum aku meninggalkan Indonesia. Pertengahan bulan lalu seniorku
waktu kuliah menghubungiku, mas Prasetya. Dia adalah senior, teman sekaligus
mentor bagiku. Usianya tiga tahun lebih tua dari aku. Waktu kuliah dulu dia
sering mengajakku ikut dalam beberapa proyek yang dia kerjakan. Sampai awal
tahun 2010 kemarin dia mendapatkan pekerjaan di Jerman, di sebuah perusahaan
bidang tata ruang yang juga memiliki beberapa kantor cabang di negara-negara
eropa lain.
“Ayolah Al, mumpung ada kesempatan. Lagian kamu juga bisa sekalian lanjutin
kuliah S2 di sini.” Rayu mas Pras kepadaku yang akhirnya tak bisa aku tolak.
Aku melihat layar hanphone ku dan mencari kontak Maya. Tapi seketika itu
juga ada keraguan, apakah aku harus berpamitan padanya atau tidak. Kubuka tas
ranselku dan mengambil sebuah undangan. Undangan pernikahan Maya dengan
pacarnya, yang akan dilangsungkan tanggal 25 september. Sebearnya dia sudah
cerita jauh-jauh hari soal tanggal itu, tapi aku tak mengira bahwa undangan
datang secepat ini.
Perasaan ingin menemuinya untuk yang terakhir dan rasa keraguan muncul
dalam pikiranku. Kupandangi kartu undangan dan hp ku secara bergantian.
Akhirnya kuletakkan keduanya di meja dan menyandarkan tubuhku di sandaran
kursi. Aku memandang ke luar jendela kafe dengan tatapan kosong.
“Ah, aku kesini untuk menikmati flat white. Bukan untuk memikirkan hal
itu.” Kembali kunikmati flat white yang mulai dingin. “Mungkin sebaiknya memang
aku tidak usah berpamitan kepadanya.” Pikirku lagi.
Cangkir flat white ku sudah kosong ketika aku memutuskan untuk beranjak
pergi. Ku ambil handphone dan tas ranselku, kemudian berjalan pergi. Sengaja ku
tinggalkan kartu undangan itu di atas meja, tak ada gunanya juga aku
membawanya. Karena malam ini aku akan terbang ke Jerman.
***
28 Mei 2015
Suara deru mesin pesawat mengiringi kedatanganku di bandara. Tak terasa
hampir empat tahun aku tidak pulang ke Indonesia. Dua tahun aku berada di
Jerman menjadi asisten mas Pras dan melanjutkan pendidikan S2 di salah satu universitas
di Jerman. Beberapa bulan setelah lulus S2 aku di pindah tugas ke kantor cabang
di Inggris. Mereka bilang prestasi kerjaku bagus dan selayaknya di beri
kepercayaan menjadi team leader di salah satu divisi. Akhirnya aku ditugaskan
di kantor Inggris.
Aku mengambil cuti beberapa hari untuk pulang ke Indonesia, selain
memang sedang tidak banyak pekerjaan di kantor aku juga sangat merindukan
kampung halamanku dan kedua orangtuaku. “Ahh, tak sabar rasanya aku ingin
segera duduk di Aquila café dan menikmati secangkir flat white yang sudah aku
rindukan.” Begitu pikirku dalam hati.
29 Mei 2015
Besoknya seperti biasa. Aku duduk di sudut kafe dan memesan secangkir
flat white. Tak banyak yang berubah dari kafe ini, kecuali para karyawan yang
kebanyakan sudah ganti. Banyak kenangan di kafe ini, tempat favoritku dan Maya
berbagi cerita. Tapi semua itu sudah lama berlalu.
Aku mengambil handphone dan melihat ada beberapa pesan masuk. “Apa aku
harus menghubungi Maya?” pikirku. Empat tahun berlalu tapi perasaan itu masih
sama, tak pernah berubah. Sejujurnya aku ingin tahu bagaimana kabar Maya
sekarang, masihkah sama seperti dulu apa sudah berubah. Aku berpikir sejenak
dan kemudian meletakkan handphone ku ke meja. Dia sudah menjadi istri orang
sekarang, lagipula apa dia masih di kota ini.
Pandanganku beralih ke jalan raya, sedangkan pikiranku melayang. Kami
memang tak pernah punya hubungan yang bisa di bilang ‘spesial’. Tetapi dengan
perasaanku yang jatuh cinta dengannya membuatku tak nyaman seandainya ingin
menemuinya.
Lamunanku terus berlanjut hingga tanpa sadar seseorang telah duduk di
depanku.
“Kamu jahat.” Katanya membuyarkan lamunanku.
“Eh.. emm.” Suara yang keluar dari mulutku. Aku kaget sekaligus gugup
ketika kudapati orang yang duduk di depanku adalah Maya. Aku benar-benar tidak
tahu harus bagaimana saat itu.
“Kamu jahat.” Kata itu sekali lagi keluar dari mulutnya. Tapi kali ini
sembari tangannya memukul bahuku. “Pergi gak pamitan, pulang gak kasih kabar.”
Tambahnya.
“Eh, waktu itu aku aku buru-buru. H min 1 aku baru di kasih kabar buat
berangkat.” Aku mencoba mencari alasan. “Kamu kok bisa disini, aku kira kamu udah
gak disini. Ikut suamimu.” Lanjutku dengan nada yang terlihat jelas gugup waktu
itu.
“Tapi apa susahnya sih bilang kalau mau pergi. Lagian waktu itu aku juga
masih disini gak di luar kota. Kamu minta ketemu paling cuma butuh waktu
sepuluh menit buat kita ketemu. Kamu juga kenapa gak cerita kalau dapat tawaran
kerja di Jerman. Emangnya aku udah gak kamu anggap?” cecarnya menyudutkan
posisiku.
“Iya aku benar-benar minta maaf. Aku emang salah waktu itu gak ngabarin
kamu. Kalau soal aku pulang ini aku gak tau kalau kamu masih disini. Aku juga
gak lama disini. Karena tanggal 31 aku sudah harus balik lagi. Aku pulang
niatnya hanya pengen jenguk orangtuaku aja.”
Kami terdiam beberapa saat. Sebelum aku melambaikan tangan kepada
pelayan.
“Mbak pesan frappe satu ya.” pintaku kepada pelayan.
“Iya mas tunggu sebentar.” Sahut pelayan itu.
Maya masih terdiam tanpa kata. Kuperhatikan dia sudah terlihat lebih dewasa
sekarang. Pakaiannya juga memperlihatkan bahwa dia sudah punya pekerjaan yang
aku pikir cukup mapan disini. Dan yang paling jelas dia menjadi semakin menarik
buatku.
“Masih inget juga sama frappe?” katanya sambil masih memperlihatkan
wajah kesal.
“Salah satu hal yang mungkin gak akan pernah aku lupakan.” Jawabku
dengan nada serius. “Kamu tambah cantik tau gak.” Kata itu keluar secara
spontan dari mulutku. Tapi kali ini dengan nada bicara yang lebih tenang. Akan
tetapi bukannya menjawab dia malah semakin menjauhkan pandangannya dariku.
“Ini pesanannya mbak Maya.” Suara pelayan yang mengantarkan frappe
pesanan tadi. Dia mengenal Maya, padahal sebelum berangkat ke Jerman aku belum
melihatnya bekerja disini. Berarti Maya masih sering kesini saat aku di luar
negeri.
“Jadi kayak gini nih?” aku kembali memulai pembicaraan. “Empat tahun gak
ketemu, terus ketemu cuma mau ngambek kayak gini?”
Maya mulai melihat ke arahku sebelum aku mulai berbicara lagi. “Kamu tau
aku pulang darimana?”
“Mas Billy yang cerita. dari dia juga aku tau kalau Mas Altarf dapat
tawaran pekerjaan di Jerman.” Billy adalah teman kuliahku dan juga kebetulan
sekantor denganku dulu. “Sekarang aku kerja di kantor kamu yang dulu. Beberapa
hari setelah kamu berangkat aku ketemu mas Billy, dan dia memberiku tawaran
untuk mengganti posisi yang kamu tinggalkan di kantor.” Lanjut Maya yang
sepertinya melihat wajahku yang ingin bertanya kenapa billy bisa cerita
kepadanya. Dia menggambil frappe dan mulai meminumnya.
“Aku benar-benar minta maaf May kalau udah membuatmu kecewa sama yang
terjadi.”
“Aku gak kecewa Mas. Aku cuma ngerasa sedih aja.” Ia diam sesaat sebelum
melanjutkan. “Terus selama empat tahun ngapain aja? Sampai ngasih kabar aja gak
pernah. Apa susahnya sih. Sedih tau mas, serasa aku gak pernah ada. Gak di
anggap.”
Sekali lagi kata-kata ‘gak di anggap’ terlontar darinya. Aku terdiam
beberapa saat.
“May, kamu tahu aku gak mungkin sampai gak nganggap kamu. Jujur Mey,
salah satu alasan aku menerima tawaran kerja di Jerman suapaya aku bisa menjaga
jarak sama kamu. Supaya aku bisa melupakan perasaanku sama kamu. Aku takut
kalau aku hubungi kamu yang ada malah perasaan itu bakal kembali lagi dan gak
akan hilang. Kamu tau kalau aku suka
sama kamu, aku sayang sama kamu. Tapi sejak dulu aku udah sering bilang kalau
diluar sana ada laki-laki lain yang lebih berhak atas kamu ketimbang aku. Yang
sekarang menjadi suami kamu.”
Maya kembali mengalihkan pandangannya keluar. Kedua tangannya memegang
gelas frappe yang ada di meja. Keheningan kembali berada diantara kami. Hingga
aku menyadari sesuatu yang tak wajar. Kedua tangannya bersih tanpa perhiasan,
tak ada juga cincin pernikahan yang terpasang disana.
Aku langsung memandangi wajahnya, dan terlihat matanya sedikit
berkaca-kaca. Apa yang sebenarnya terjadi, ada apa dengan pernikahannya.
“Apa yang terjadi May?” tanyaku. Akan tetapi dia tak bergeming
sedikitpun. “May.” Aku memanggilnya sekali lagi. “Maya.” Kali ini suaraku
sedikit lebih keras, dan aku genggam pergelangan tangannya.
Dia melihat ke arahku. Dan tak bisa terbendung lagi setetes air jatuh
dari matanya. Ia menyeka kedua matanya. “Sebenarnya aku malu kalau harus ketemu
kamu lagi mas.”
“Hey, jangan bilang gitu. Cerita apa yang terjadi. Dimana cincin
pernikahanmu?”
Maya terdiam sesaat. “Aku gak pernah menikah mas.” Jawabnya lirih sambil
di iringi air mata yang kembali jatuh.
“Pernikahanmu batal? Bagaimana bisa?” aku sungguh terkejut dengan apa
yang baru saja dia katakan.
“Beberapa hari setelah kamu berangkat, ada seorang perempuan yang
mendatangiku dan orangtuaku. Dia bilang dia hamil, dan mengaku kalau ayah dari
janin itu adalah orang yang akan menikahiku kurang dari dua minggu lagi.” Aku
bisa melihat raut kesedihan campur emosi dalam diri Maya. “Akhirnya pernikahan
kami dibatalkan. Malu memang yang aku dan keluargaku rasakan. Tapi setidaknya
itu lebih baik ketimbang semua terbongkar setelah aku menikah.”
Tak ada satu katapun yang keluar dari mulutku. Aku memilih untuk diam
terlebih dahulu. Menunggu dia melanjutkan ceritanya.
“Aku emang bodoh, bisa-bisanya memutuskan untuk dengan pria semacam itu.
Sementara ada laki-laki yang lebih baik dan dengan jelas lebih mencintaiku
ketimbang dia. Lebih peduli terhadapku. Setelah kejadian itu aku kembali ke
sini, pertama yang terlintas dalam pikiranku adalah menemuimu. Aku ingin cerita
tentang semua yang terjadi, aku ingin menangi sekeras-kerasnya di hadapanmu.
Aku ingin kamu tau betapa bodohnya diriku yang tak bisa memilih pasangan.
Padahal sudah terlihat jelas dia bukan tipe orang yang tegas, bukan tipe orang
sepertimu. Yang jauh lebih baik.
Tapi apa yang terjadi. Aku hanya bertemu mas Billy, dan dia cerita
semuanya. Kamu malah pergi tanpa meninggalkan pesan apapun untukku. Dan itu
malah bikin aku tambah sakit tau gak? Jujur waktu itu aku sangat butuh kamu
mas. Cuma sama kamu aku bisa cerita tentang semua ini.”
Betapa bodohnya aku yang termakan cemburu waktu itu. Yang terlalu
gegabah untuk secepatnya berangkat ke Jerman. Seandainya aku menunggu beberapa
hari lagi mungkin semua akan lain. “Aku sungguh menyesal karena gak ada saat
kamu benar-benar butuh. Aku malah pergi ke Jerman bahkan tanpa pamit.”
“Dan sampai saat inipun tak ada seorangpun yang aku ceritakan tentang
hal ini kecuali kamu.” Maya menghela nafasnya. Dan terlihat kini emosinya sudah
stabil. “Sejak itu hampir seminggu sekali aku selalu kesini, memesan frappe dan
flat white kesukaanmu. Bodoh memang. Aku berharap bisa merasakan kehadiranmu
disini. Sama seperti yang sering kita lakukan dulu. Aku duduk sendirian di sini
dan berharap untuk cinta. Cintaku yang sesungguhnya, yang tak pernah aku
ketahui sebelum ia pergi. Menunggumu selama empat tahun. Benar kata orang, kamu
gak akan pernah tau apa yang kamu miliki hingga kamu kehilangan.
Saat tadi pagi mas billy bilang kamu pulang, aku tahu kalau kamu pasti
akan kesini sore ini. Antara senang dan takut menyelimuti perasaanku. Senang
akhirnya aku bisa melihatmu lagi setelah empat tahun, tapi juga takut
menghadapi kenyataan ini di hadapanmu. Setelah empat tahun ini, aku tak banyak
berharap bahwa perasaan itu masih ada. Perasaan yang pernah kau katakan dulu.
Tapi setidaknya aku lega bisa melihatmu lagi, duduk berdua disini lagi. Memesan
flat white dan frappe, meski seandainya ini harus jadi yang terakhir aku senang
mas.”
“Besok kamu kerja?”
“Iya, kenapa?”
“Besok kamu cuti aja. Aku mau ketemu sama orangtuamu.”
Maya sedikit tekejut dengan omonganku. Aku bisa melihat dari raut
mukanya.
“Empat tahun bukan waktu yang cukup untuk melupakan perasaanku sama kamu.
Dulu aku pernah bilang bahwa kamu wanita pertama yang bisa membuatku jatuh
cinta dalam beberapa minggu. Tapi untuk menghapus perasaan itu tak cukup dengan
hanya beberapa tahun. Dan aku ingin memastikan hubungan kita. Kecuali memang
ada laki-laki lain di hatimu sekarang.”
Tangan kirinya maju dan meraih jemari tangan kananku. “Aku akan cuti
besok.” Katanya sambil melebarkan senyum. Senyuman yang selama empat tahu ini
selalu membayangiku.
Label:
Cerita Singkat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: