POPULER

Kamis, 28 Februari 2013


Saat aku pulang ke rumah pada malam setelah matahari terbenam aku melewati sebuah jalan setapak di tengah-tengah perkebunan teh.  Perkebunan yang sangat luas milik seorang pedagang kaya dari kota. Disamping jalan terdapat sebuah batu besar yang diatasnya ada seseorang lelaki tua sedang mamandangi langit seja. Dia duduk dengan malipat kaki di depan dadanya dan mendekapnya dengan kedua tangannya. Dari raut wajahnya terlihat banyak sekali kerutan, menandakan usianya yang sudah lebih dari 70 tahunan. Saat melewatinya aku coba menyapa lelaki tua itu, tapi ia mengacuhkanku dan tetap melihat ke langit dengan air menetes dari mata tuanya. 
Pada hari yang lain aku kembali melewati jalan tersebut. Kali ini aku melewatinya pada senja hari, tepat sebelum matahari menidurkan desa ini. Sama seperti hari sebelumnya, aku melihat laki-laki tua itu duduk di atas batu. Yang berbeda adalah arah pandangannya, dia memandangi perkebunan teh di depannya. Sebuah suara aku dengar darinya, suara tawa kecil keluar dari mulutnya. Akupun melewatinya dengan diam. 

Sampai di ujung perkebunan,aku bertemu dengan seorang penduduk desa yang bekerja di perkebunan teh itu. Aku bertanya kepada wanita itu tentang laki-laki tua yang aku temui tadi. Wanita itu berkata bahwa laki-laki tua itu dalah orang gila. Ia mengaku bahwa sedang bicara dengan Tuhan saat duduk disana. Ia selalu melakukan hal itu dari senja sampai malam yang larut setiap hari. Setelah memberitahuku, wanita itupun pergi. Aku memadangi laki-laki tua itu sejenak kemudian pulang dengan sebuah pertanyaan di pikiranku. Bagaimana bisa ia bicara dengan Tuhan di atas batu itu.
Pada hari ketiga aku melewati jalan itu, aku melihatnya duduk dengan mata terpejam. Saat itu senja tak secerah hari-hari biasanya. Matahari bersembunyi di balik awan, seakan tak ingin ada yang melihatnya teritidur di ufuk barat. Perlahan aku beranikan diri naik ke atas batu itu dan duduk di sampinnya. Akupun mencoba mengajaknya bicara.
“Hai pak tua, apa yang sedang kau lakukan disini?” 
“Aku sedang mendengarkan Tuhan bicara padaku.”jawabnya sambil tetap memejamkan mata.
“kemarin aku melihatmu memandangi perkebunan sambil tertawa. Sementara di lain hari aku melihatmu menatap langit dan meneteskan air mata. Sebanarnya apa yang Tuhan katakan padamu?” tanyaku tentang apa yang aku lihat di hari sebelumnya.
“Saat aku menatap langit Tuhan berkata padaku tentang betapa kecilnya aku. Ia menciptakan bumi, bulan, bintang bahkan langit yang tak terkira luasnya. Sementara aku hanya seonggok daging yang bahkan tak ada sepermilyar bumi.”
“lalu apa yang Tuhan katakan kemarin sehingga kau tertawa?” tanyaku penasaran.
“Tuhan bilang bahwa aku adalah orang yang sangat beruntung. Aku tinggal di desa yang damai dengan perkebunan teh terbaik di dalamnya, teh yang bisa aku nikmati setiap saat aku mau meminumnya.” Katanya dengan nada yang sangat yakin.
“Sekarang kau sedang duduk disini, lantas apa yang Tuhan katakan saat ini?”
Tiba-tiba mata laki-laki tua itu terbuka. Dengan pandangan yang sangat tajam ia menatapku dan berkata dengan nada amarah. “Tuhan bilang aku ini bodoh. Aku ini bodah telah menjual kebunku kepada orang kota serakah itu, dan kini ia menjadikan kami budaknya.”
Kemudian pak tua itu turun dari batu besar tersebut dan berjalan di tengah-tengah kebun sambil berkata “betapa bodohnya aku, dasar bodoh.. dasar bodoh... aku benar-benar bodoh....”
Aku hanya terdiam melihatnya pergi menjauh dan menghilang dari pandanganku. Kemudian aku memejamkan mataku dan mencoba memahami pembicaraanku bersama orang tua itu.



0 komentar: